Motif kain adat dapat dilihat sebagai salah satu sarana komunikasi
tradisional yang memuat lambang-lambang atau simbol-simbol budaya
tertentu. Simbol-simbol adat sesungguhnya dapat berlaku sebagai pranata
karena dengan makna dibalik simbol itu, setiap penerima simbol akan
menyadari sesuatu yang harus dan tidak harus dijalankannya. Sehingga
motif batik tradisional merupakan pesan nonverbal.
Masyarakat Jawa sampai sekarang masih mempunyai kepercayaan terhadap
“batik tradisional” yang bermotif tertentu. Adapun kepercayaan ini
antara lain tercermin pada upacara adat pernikahan Jawa, dimana mereka
memiliki kepercayaan bahwa batik sebagai salah satu alat perlengkapan
pernikahan adat dianggap mempunyai kekuatan magis, dan pernikahannyapun
menurut aturan-aturan tertentu yang tidak boleh dilangggar begitu saja.
Disamping itu pada sementara orang Jawa masih pula hidup pemikiran bahwa
motif batik tradisional yang sering digunakan sebagai alat perlengkapan
upacara pernikahan adat Jawa memiliki mitologi tertentu yang memberikan
arti khusus dan harus mendapatkan perhatian yang khusus pula bagi para
pemakainya. Pemakaian motif batik-batik tradisional tertentu baik oleh
pengantin pria dan pengantin wanita, orang tua dari kedua belah pihak
maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan pada proses pelaksanaan
tersebut secara menyeluruh, mulai dari awal sampai akhir dari rangkaian
upacara pernikahan itu, umumnya juga didasari oleh pemikiran-pemikiran
tersebut diatas.
Ada 7 macam motif dalam batik tradisional yaitu: motif Sawat, motif
Gurda, motif Meru, motif Semen, motif Bango Tulak, motif Sindur, motif
Gadhung Mlati
Pengertian Batik
Kata Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan
“titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh
bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan
masuknya bahan pewarna (dye), atau dalam Bahasa Inggrisnya “wax-resist
dyeing”(www.wikipedia.com).
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah
menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama.
Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka
dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan
membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya
“Batik Cap” yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini.
Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang
memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak “Mega
Mendung”, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah
lazim bagi kaum lelaki.
Tradisi falsafah Jawa yang mengutamakan pengolahan jati diri melalui
praktek-praktek meditasi dan mistik dalam mencapai kemuliaan adalah satu
sumber utama penciptaan corak-corak batik tersebut selain pengabdian
sepenuhnya kepada kekuasaan raja sebagai pengejawantahan Yang Maha Kuasa
di dunia. Sikap ini menjadi akar nilai-nilai simbolik yang terdapat di
balik corak-corak batik menurut Djajasoebrata (dalam Anas, Biranul,
1995: 64). Pola, motif dan warna dalam batik, dulu mempunyai arti
simbolik. Ini disebabkan batik dulu merupakan pakaian upacara ( kain
panjang, sarung, selendang, dodot, kemben, ikat kepala ), oleh karena
itu harus dapat mencerminkan suasana upacara dan dapat menambah daya
magis. Karena itu diciptakanlah berbagai pola dan motif batik yang
mempunyai simbolisme yang bisa mendukung atau menambah suasana religius
dan magis dari upacara itu. “ Jadi batik tidak hanya untuk memperindah
tubuh dan menyenangkan pandangan mata saja, tapi merupakan bagian dari
upacara itu sendiri bersama dengan alat-alat upacara yang lain” ( Iwan
Tirta, 1985: 3). “Motif-motif batik tidak sekedar gambar atau ilustrasi
saja namun motif-motif batik tersebut dapat dikatakan ingin menyampaikan
pesan, karena motif-motif tersebut tidak terlepas dari pandangan hidup
pembuatnya, dan lagi pemberian nama terhadap motif-motif tersebut
berkaitan dengan suatu harapan”
( Kuswadji, K, 1985:10-11).
Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing.
Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan
beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik
pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan
juga pada akhirnya, para penjajah. Warna-warna cerah seperti merah
dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix.
Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya
adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga
tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau
kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna
biru. Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai
dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki
perlambangan masing-masing.
Teknik membatik telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak
ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada
yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian
dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini
batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia,
Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. Selain di Asia, batik juga sangat
populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik
yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia,
terutama dari Jawa.
Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan
kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam
beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa
kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.
Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman
kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja
berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik
rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad
ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya
batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah
perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan
penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa
adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan
ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.
Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang
menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu.
Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya
untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena
banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian
batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya
masing-masing.
Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan
selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya
untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya
pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari,
baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu
adalah hasil tenunan sendiri.
Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan
asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu,
tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta
garamnya dibuat dari tanahlumpur.
Jaman Majapahit
Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, dapat
ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah
yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal
nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan
perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah
riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari
peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah
Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal
dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit
daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak
mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.
Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh
Majapahit, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan
disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka
petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan
tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara
lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di Kwali, Mojosari,
Betero dan Sidomulyo. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di
Jombang. Pada akhir abad ke-XIX ada beberapa orang kerajinan batik yang
dikenal di Mojokerto, bahan-bahan yang dipakai waktu itu kain putih yang
ditenun sendiri dan obat-obat batik dari soga jambal, mengkudu, nila
tom, tinggi dan sebagainya.
Obat-obat luar negeri baru dikenal sesudah perang dunia kesatu yang
dijual oleh pedagang-pedagang Cina di Mojokerto. Batik cap dikenal
bersamaan dengan masuknya obat-obat batik dari luar negeri. Cap dibuat
di Bangil dan pengusaha-pengusaha batik Mojokerto dapat membelinya
dipasar Porong Sidoarjo, Pasar Porong ini sebelum krisis ekonomi dunia
dikenal sebagai pasar yang ramai, dimana hasil-hasil produksi batik
Kedungcangkring dan Jetis Sidoarjo banyak dijual. Waktu krisis ekonomi,
pengusaha batik Mojoketo ikut lumpuh, karena pengusaha-pengusaha
kebanyakan kecil usahanya. Sesudah krisis kegiatan pembatikan timbul
kembali sampai Jepang masuk ke Indonesia, dan waktu pendudukan Jepang
kegiatan pembatikan lumpuh lagi. Kegiatan pembatikan muncul lagi sesudah
revolusi dimana Mojokerto sudah menjadi daerah pendudukan.
Ciri khas dari batik Kalangbret dari Mojokerto adalah hampir sama
dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna
coraknya coklat muda dan biru tua. Yang dikenal sejak lebih dari seabad
yang lalu tempat pembatikan didesa Majan dan Simo. Desa ini juga
mempunyai riwayat sebagai peninggalan dari zaman peperangan Pangeran
Diponegoro tahun 1825.
Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan
batik mulai menyebar sejak pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan
Yogyakata, pada jaman kerajaan di daerah ini. Hal itu tampak bahwa
perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih
dipenagruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya clash antara tentara kolonial Belanda dengan
pasukan-pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian dari pasukan-pasukan
Kyai Mojo mengundurkan diri kearah timur dan sampai sekarang bernama
Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa
Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya
seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini
merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang
Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna
babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari
tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa
Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang
datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih
terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah
Sembung. Selain dari tempat-tempat tesebut juga terdapat daerah
pembatikan di Trenggalek dan juga ada beberapa di Kediri, tetapi sifat
pembatikan sebagian kerajinan rumah tangga dan babarannya batik tulis.
Jaman Perkembangan Islam
Riwayat pembatikan di daerah Jawa Timur lainnya adalah di Ponorogo,
yang kisahnya berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam di daerah ini.
Riwayat Batik. Disebutkan masalah seni batik didaerah Ponorogo erat
hubungannya dengan perkembangan agama Islam dan kerajaan-kerajaan
dahulu. Konon, di daerah Batoro Katong, ada seorang keturunan dari
kerajaan Majapahit yang namanya Raden Katong adik dari Raden Patah.
Batoro Katong inilah yang membawa agama Islam ke Ponorogo dan petilasan
yang ada sekarang ialah sebuah mesjid didaerah Patihan Wetan.
Perkembangan selanjutanya, di Ponorogo, di daerah Tegalsari ada
sebuah pesantren yang diasuh Kyai Hasan Basri atau yang dikenal dengan
sebutan Kyai Agung Tegalsari. Pesantren Tegalsari ini selain mengajarkan
agama Islam juga mengajarkan ilmu ketatanegaraan, ilmu perang dan
kesusasteraan. Seorang murid yang terkenal dari Tegalsari dibidang
sastra ialah Raden Ronggowarsito. Kyai Hasan Basri ini diambil menjadi
menantu oleh raja Kraton Solo.
Waktu itu seni batik baru terbatas dalam lingkungan kraton. Oleh
karena putri keraton Solo menjadi istri Kyai Hasan Basri maka dibawalah
ke Tegalsari dan diikuti oleh pengiring-pengiringnya. disamping itu
banyak pula keluarga kraton Solo belajar dipesantren ini. Peristiwa
inilah yang membawa seni bafik keluar dari kraton menuju ke Ponorogo.
Pemuda-pemudi yang dididik di Tegalsari ini kalau sudah keluar, dalam
masyarakat akan menyumbangkan dharma batiknya dalam bidang-bidang
kepamongan dan agama.
Daerah perbatikan lama yang bisa kita lihat sekarang ialah daerah
Kauman yaitu Kepatihan Wetan sekarang dan dari sini meluas ke desa-desa
Ronowijoyo, Mangunsuman, Kertosari, Setono, Cokromenggalan, Kadipaten,
Nologaten, Bangunsari, Cekok, Banyudono dan Ngunut. Waktu itu obat-obat
yang dipakai dalam pembatikan ialah buatan dalam negeri sendiri dari
kayu-kayuan antara lain; pohon tom, mengkudu, kayu tinggi. Sedangkan
bahan kainputihnyajugamemakai buatan sendiri dari tenunan gendong. Kain
putih import bam dikenal di Indonesia kira-kira akhir abad ke-19.
Pembuatan batik cap di Ponorogo baru dikenal setelah perang dunia
pertama yang dibawa oleh seorang Cina bernama Kwee Seng dari Banyumas.
Daerah Ponorogo awal abad ke-20 terkenal batiknya dalam pewarnaan nila
yang tidak luntur dan itulah sebabnya pengusaha-pengusaha batik dari
Banyumas dan Solo banyak memberikan pekerjaan kepada pengusaha-pengusaha
batik di Ponorogo. Akibat dikenalnya batik cap maka produksi Ponorogo
setelah perang dunia petama sampai pecahnya perang dunia kedua terkenal
dengan batik kasarnya yaitu batik cap mori biru. Pasaran batik cap kasar
Ponorogo kemudian terkenal seluruh Indonesia.
Batik Solo dan Yogyakarta
Dari kerjaan-kerajaan di Solo dan Yogyakarta sekitamya abad 17,18 dan
19, batik kemudian berkembang luas, khususnya di wilayah Pulau Jawa.
Awalnya batik hanya sekadar hobi dari para keluarga raja di dalam
berhias lewat pakaian. Namun perkembangan selanjutnya, pleh masyarakat
batik dikembangkan menjadi komoditi perdagamgan.
Batik Solo terkenal dengan corak dan pola tradisionalnya batik dalam
proses cap maupun dalam batik tulisnya. Bahan-bahan yang dipergunakan
untuk pewarnaan masih tetap banyak memakai bahan-bahan dalam negeri
seperti soga Jawa yang sudah terkenal sejak dari dahulu. Polanya tetap
antara lain terkenal dengan “Sidomukti” dan “Sidoluruh”.
Sedangkan Asal-usul pembatikan didaerah Yogyakarta dikenal semenjak
kerajaan Mataram ke-I dengan rajanya Panembahan Senopati. Daerah
pembatikan pertama ialah didesa Plered. Pembatikan pada masa itu
terbatas dalam lingkungan keluarga kraton yang dikerjakan oleh
wanita-wanita pembantu ratu. Dari sini pembatikan meluas pada trap
pertama pada keluarga kraton lainnya yaitu istri dari abdi dalem dan
tentara-tentara. Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria
maupun wanita memakai pakaian dengan kombonasi batik dan lurik. Oleh
karena kerajaan ini mendapat kunjungan dari rakyat dan rakyat tertarik
pada pakaian-pakaian yang dipakai oleh keluarga kraton dan ditiru oleh
rakyat dan akhirnya meluaslah pembatikan keluar dari tembok kraton.
Akibat dari peperangan waktu zaman dahulu baik antara keluarga
raja-raja maupun antara penjajahan Belanda dahulu, maka banyak
keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap didaerah-daerah baru
antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan kedaerah Timur Ponorogo,
Tulungagung dan sebagainy a. Meluasny a daerah pembatikan ini sampai
kedaerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi
inilah yang mengembangkan pembatikan seluruh pelosok pulau Jawa yang ada
sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu.
Perang Pangeran Diponegoro melawan Belanda, mendesak sang pangeran
dan keluarganya serta para pengikutnya harus meninggalkan daerah
kerajaan. Mereka kemudian tersebar ke arah Timur dan Barat. Kemudian di
daerah-daerah baru itu para keluarga dan pengikut pangeran Diponegoro
mengembangkan batik.
Ke Timur batik Solo dan Yogyakarta menyempurnakan corak batik yang
telah ada di Mojokerto serta Tulung Agung. Selain itu juga menyebar ke
Gresik, Surabaya dan Madura. Sedang ke arah Barat batik berkem-bang di
Banyumas, Pekalongan, Tegal, Cirebon.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun,
sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik
keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status
seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya
dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Semula batik dibuat di atas bahan dengan warna putih yang terbuat
dari kapas yang dinamakan kain mori. Dewasa ini batik juga dibuat di
atas bahan lain seperti sutera, poliester, rayon dan bahan sintetis
lainnya. Motif batik dibentuk dengan cairan lilin dengan menggunakan
alat yang dinamakan canting untuk motif halus, atau kuas untuk motif
berukuran besar, sehingga cairan lilin meresap ke dalam serat kain. Kain
yang telah dilukis dengan lilin kemudian dicelup dengan warna yang
diinginkan, biasanya dimulai dari warna-warna muda. Pencelupan kemudian
dilakukan untuk motif lain dengan warna lebih tua atau gelap. Setelah
beberapa kali proses pewarnaan, kain yang telah dibatik dicelupkan ke
dalam bahan kimia untuk melarutkan lilin.
Jenis batik ada 2 macam:
* Batik tulis, jika motif batik dibentuk dengan tangan
* Batik cap, jika motif batik dibentuk dengan cap (biasanya dibuat dari tembaga)
Batik Khas Yogyakarta
Bledak Sidoluhur Latar Putih
Kegunaan : Upacara Mitoni ( Upacara Masa 7 Bulan bagi Pengantin Putri saat hamil pertama kali)
Filosofi : Yang menggunakan selalu dalam keadaan gembira.
Cakar Ayam
Kegunaan : Upacara Mitoni, Untuk Orang Tua Pengantin pada saat Upacara Tarub, siraman.
Filosofi : Cakar ayam melambangkan agar setelah berumah tangga sampai
keturunannya nanti dapat mencari nafkah sendiri atau hidup mandiri.
Cuwiri
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi : Cuwiri= bersifat kecil-kecil, Pemakai kelihatan pantas/ harmonis.
Grageh Waluh
Kegunaan : Harian (bebas)
Filosofi : Orang yang memakai akan selalu mempunyai cita-cita atau tujuan tentang sesuatu.
Grompol
Kegunaan : Dipakai oleh Ibu mempelai puteri pada saat siraman
Filosofi : Grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai
kain ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik-baik, seperti
rezeki, keturunan, kebahagiaan hidup, dll.
Harjuno Manah
Kegunaan : Upacara Pisowanan / Menghadap Raja bagi kalangan Kraton
Filosofi : Orang yang memakai apabila mempunyai keinginan akan dapat tercapai.
Jalu Mampang
Kegunaan : Untuk menghadiri Upacara Pernikahan
Filosofi : Memberikan dorongan semangat kehidupan serta memberikan restu bagi pengantin.
Jawah Liris Seling Sawat Gurdo
Kegunaan : Berbusana
Filosofi : Jawah liris=gerimis
Kasatrian
Kegunaan : Dipakai pengiring waktu upacara kirab pengantin
Filosofi : Si pemakai agar kelihatan gagah dan memiliki sifat ksatria.
Kawung Picis
Kegunaan : Dikenakan di kalangan kerajaan
Filosofi : Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat
akan asal-usulnya, juga melambangkan empat penjuru ( pemimpin harus
dapat berperan sebagai pengendali kea rah perbuatan baik). Juga
melambangkan bahwa hati nurani sebagai pusat pengendali nafsu-nafsu yang
ada pada diri manusia sehingga ada keseimbangan dalam perilaku
kehidupan manusia.
Kembang Temu Latar Putih
Kegunaan : Bepergian, pesta
Filosofi : Kembang temu = temuwa. Orang yang memakai memiliki sikap dewasa (temuwa).
Klitik
Kegunaan : Busana Daerah
Filosofi : Orang yang memakai menunjukkan kewibawaan.
Latar Putih Cantel Sawat Gurdo
Kegunaan : Busana Daerah
Filosofi : Bila dipakai menjadikan wibawa.
Lerek Parang Centung
Kegunaan : Mitoni, dipakai pesta
Filosofi : Parang centung = wis ceta macak, kalau dipakai kelihatan cantik (macak).
Lung Kangkung
Kegunaan : Pakaian harian
Filosofi : Lung (Pulung), aslinya dengan memakai kain tersebut akan mendatangkan pulung (rezeki)
.Nitik
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai adalah bijaksana, dapat menilai orang lain.
Nitik Ketongkeng
Kegunaan : Bebas
Filosofi : Biasanya dipakai oleh orang tua sehingga menjadikan banyak rejeki dan luwes pantes.
Nogo Gini
Kegunaan : Upacara temanten Jawa (Gandeng temanten)
Filosofi : Apabila memakai kain tersebut kepada pengantin akan mendapatkan barokah (rezeki).
Nogosari
Kegunaan : Untuk upacara mitoni
Filosofi : Nogosari nama sejenis pohon, motif batik ini melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
Parang Barong
Kegunaan : Dipakai oleh Sultan/Raja.
Filosofi : Bermakna kekuasaan serta kewibawaan seorang Raja.
Parang Bligon, Ceplok Nitik Kembang Randu
Kegunaan : Menghadiri Pesta
Filosofi : Parang Bligo = bentuk bulat berarti kemantapan hati.
Kembang Randu = melambangkan uang si pemakai memiliki kemantapan dalam hidup dan banyak rejeki.
Parang Curigo, Ceplok Kepet
Kegunaan : Berbusana, menghadiri pesta
Filosofi : Curigo = keris, kepet = isis
Si pemakai memiliki kecerdasan, kewibawaan serta ketenangan.
Parang Grompol
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai akan mempunyai rezeki yang banyak.
Parang Kusumo Ceplok Mangkoro
Kegunaan : Berbusana pria dan wanita
Filosofi : Parang Kusumo = Bangsawan
Mangkoro = Mahkota
Pemakai mendapatkan kedudukan, keluhuran dan dijauhkan dari marabahaya.
Parang Nitik
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai menjadi luwes dan pantes.
Parang Tuding
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi : Parang = batu karang, Tuding = ngarani = menunjuk, menunjukkan hal-hal yang baik dan menimbulkan kebaikan.
Peksi Kurung
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai menjadikan gagah/berwibawa dan mempunyai kepribadian yang kuat
Prabu Anom/Parang Tuding
Kegunaan : Upacara mitoni
Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan kedudukan yang baik, awet muda dan simpatik.
Sapit Urang
Kegunaan : Koleksi lingkungan Kraton
Filosofi : Orang yang memakai mempunyai kepribadian yang baik dan hidupnya tidak sembrono.
Sekar Asem
Kegunaan : Pakaian upacara adat Jawa
Filosofi : Asem (mesem : senyum)
Orang yang memakai akan selalu hidup bahagia dan bersikap ramah.
Sekar Keben
Kegunaan : Pakain harian kalangan abdi dalem Kraton
Filosofi : Orang yang memakai akan memiliki pandangan yang luas dan selalu ingin maju.
Sekar Manggis
Kegunaan : Upacara tradisional Jawa
(misal : mitoni)
Filosofi : Dengan memakai kain motif tersebut, akan memberikan kesan luwes/ manis bagi si pemakai.
Sekar Polo
Kegunaan : Dipakai untuk sehari-harian.
Filosofi : Orang yang memakai akan dapat memberikan dorongan/pengaruh kepada orang lain.
Semen Gurdo
Kegunaan : Untuk pesta, busana daerah
Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan berkah dan kelihatan berwibawa.
Semen Kuncoro
Kegunaan : Pakaian harian Kraton
Filosofi : Kencono (bahasa Jawa: muncar)
Orang yang memakai akan memancarkan kebahagiaan.
Semen Mentul
Kegunaan : Dipakai untuk harian
Filosofi : Orang yang memakai umumnya tidak mempunyai keinginan yang pasti.
Semen Romo Sawat Gurdo
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Dipakai menjadikan macak (menarik)
Semen Romo Sawat Gurdo Cantel
Kegunaan : mitoni, dipakai pesta
Filosofi : Agar selalu mendapatkan berkah Tuhan.
Sido Asih
Kegunaan : Bebas
Filosofi : Pemakai akan disenangi (Jawa: ditresnani) oleh banyak orang.
Sido Asih Kemoda Sungging
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi : Sido = Jadi, Asih = sayang. Agar disayangi setiap orang.
Sido Asih Sungut
Kegunaan : Temanten panggih
Filosofi : Sido berarti jadi, asih berarti sayang, ragam hias ini
mempunyai makna agar hidup berumah tangga selalu penuh kasih sayang.
Sido Mukti Luhur
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi : Sido Mukti, berarti gembira, kebahagiaan untuk mengendong bayi sehingga bayi merasakan ketenangan, kegembiraan,dll.
Sido Mukti Ukel Lembat
Kegunaan : Temanten panggih
Filosofi : Orang yangmemakai akan menjadi mukti.
Slobog
Kegunaan : Dipakai pada upacara kematian, dipakai pada upacara pelantikan para pejabat pemerintahan.
Filosofi : -Melambangkan harapan agar arwah yang meninggal
mendapatkan kemudahan dan kelancaran dalam perjalanan menghadap
Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan keluarga yang ditingalkan juga
diberi kesabaran dalam menerima cobaan kehilangan salah satu
keluarganya.
- Melambangkan harapan agar selalu diberi petunjuk dan kelancaran
dalam menjalankan semua tugas-tugas yang menjadi tangung jawabnya.
Soko Rini
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi : Soko = orang, Rini = senang, Pemakai mendapatkan kesenangan kukuh dan abadi.
Tambal Kanoman
Kegunaan : Dipakai orang muda, terutama untuk tingalan tahun (ulang tahun)
Filosofi : Si pemakai akan kelihatan pantas/luwes dan banyak rejeki.
Tirta Teja
Kegunaan : Berbusana
Filosofi : Tirta = air, teja = cahaya. Si pemakai “gandes luwes” dan bercahaya.
Tritik Jumputan
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Orang yang memakai menjadi luwes dan pantes.
Truntum Sri Kuncoro
Kegunaan : Untuk orang tua pengantin pada waktu upacara panggih.
Filosofi : Truntum berarti menuntun, sebagai orang tua berkewajiban
menuntun kedua mempelai memasuki hidup baru atau berumah tangga yang
banyak liku-likunya.
Udan Liris
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi ; Orang yang memakai bisa menghindari hal-hal yang kurang baik.
Wahyu Tumurun
Kegunaan : Busana daerah
Filosofi : Agar si pemakai mendapatkan wahyu (anugerah).
Wahyu Tumurun Cantel
Kegunaan : Dipakai Pengantin pada waktu panggih
Filosofi : Wahyu berarti anugerah, temurun berarti turun, dengan
menggunakan kain ini kedua pengantin mendapatkan anugerah dari yang Maha
Kuasa berupa kehidupan yang bahagia dan sejahtera serta mendapat
petunjukNya.
Pemaparan Makna Simbolik Motif Batik Tradisional
Berdasarkan observasi dan serangkaian wawancara yang penulis lakukan
dalam penelitian, ternyata batik tradisional mempunyai motif yang
beraneka ragam dan motif-motif ini masih lestari sampai
sekarang.Motif-motif tersebut terdiri dari:
1.Motif Sawat
Kata sawat berarti melempar ( Jawa: balang). Motif ini sebenarnya
berawal dari kepercayaan orang-orang Jawa akan adanya seorang dewa yang
bernama Batara Indra. Menurut para informan, Batara Indra memiliki
sebuah senjata pusaka yang disebut wajra atau bajra, yang berarti pula
thathit (kilat). Cara menggunakan senjata pusaka ini adalah dengan
melemparkan (Jawa: nyawatake). Menurut mereka, bentuk senjata pusaka
tersebut menyerupai seekor ular yang bertaring tajam serta bersayap
(Jawa: mawa lar), sehingga jalannya sangat cepat dan tidak terlihat oleh
indera mata, sebab hanya berupa sinar merah di angkasa. Senjata pusaka
itu bila dilemparkan akan menyambar-nyambar di uadara dan mengeluarkan
suara yang amat keras dan menakutkan. Walaupun menakutkan, wajra juga
mendatangkan kegembiraan sebab ia dianggap sebagai pembawa hujan yang
akan mendatangkan kemakmuran bagi umat manusia. Senjata pusaka Batara
Indra ini diwujudkan ke dalam motif batik berupa sebelah sayap dengan
harapan agar si pemakai akan selalu mendapatkan perlindungan dalam
kehidupannya.
2. Motif Gurda
Motif Gurda lebih mudah dimengerti karena disamping bentuknya yang
sederhana juga gambarnya sangat jelas karena tidak terlalu banyak
variasinya. Kata gurda berasal dari kata garuda, yaitu nama sejenis
burung besar yang menurut pandangan hidup orang Jawa khususnya
Yogyakarta mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bentuk motif gurda
ini terdiri dari dua buah sayap (lar) dan ditengah-tengahnya terdapat
badan dan ekor. Menurut orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai
binatang yang suci.
Dalam cerita kenaikan Batara Wisnu ke Nirwana dengan mengendarai
burung Garuda.Burung ini dianggap sebagai burung yang teguh timbul tanpa
maguru, yang artinya sakti tanpa berguru kepada siapapun. Adapun cerita
tentang asal mula Garuda menjadi kendaraan Sang Hyang Wisnu, menurut
salah seorang informan berawal ketika terjadi peperangan antara Garuda
dengan para dewa. Dalam peperangan tersebut para dewa dapat dikalahkan ,
sehingga mereka meminta bantuan pada Sang Hyang Wisnu, yang kemudian
menemui burung Garuda. Pada pertemuan itu terjadi perdebatan diantara
keduanya. Oleh karena para dewa telah mengalami kekalahan maka burung
Garuda mengajukan usul agar para dewa mengajukan permohonan apa saja
yang nantinya akan dikabulkan oleh Garuda. Akhirnya Sang Hyang Wisnu
mengajukan permohonan agar Garuda bersedia menjadi tunggangannya untuk
mengantarkan kembali ke Sorga Loka (tempat tinggal para dewa).
Menurut pendapat orang Yogyakarta Sang Hyang Wisnu sering disebut
sebagai Sang Surya yang berarti matahari atau dewa matahari. Berdasarkan
peristiwa diatas, bahwa akhirnya Garuda menjadi tunggangannya Sang Dewa
Matahari, maka kemudian Garuda juga dijadikan sebagai lambang matahari.
Kecuali itu Garuda dianggap pula sebagai lambing kejantanan. Dasar
pemikirannya adalah, karena Garuda sebagai lambang matahari, maka Garuda
dipandang sebagai sumber kehidupan yang utama, sekaligus ia merupakan
lambang kejantanan, dan diharapkan agar selalu menerangi kehidupan umat
manusia di dunia. Hal inilah kiranya mengapa orang Yogyakarta mewujudkan
burung yang suci ini kedalam motif batik.
3. Motif Meru
Motif meru, menurut kepercayaan orang Yogyakarta motif ini juga
memiliki latar belakang tersendiri yang secara garis besarnya adalah
sebagai berikut. Meru berasal dari kata Mahameru, yaitu nama sebuah
gunung yang dianggap sakral karena menjadi tempat tinggal atau
singgasana bagi Tri Murti yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan
Sang Hyang Siwa. Menurut salah seorang informan, di puncak Gunung
Mahameru terdapat air keramat yang dinamakan tirta kamandalu, yaitu air
yang merupakan sumber kehidupan abadi. Demikianlah Tri Murti
dilambangkan sebagai sumber dari segala kehidupan, sumber kemakmuran,
dan segala kebahagiaan hidup di dunia. Berdasarkan keyakinan seperti di
atas maka orang-orang Yogyakarta mewujudkan pandangannya tersebut ke
dalam motif batik, dengan harapan agar mendapatkan berkah dari Tri
Murti.
Motif meru ini selain dituangkan dalam lukisan batik, biasanya juga
digunakan sebagai motif paes (rias) bagi para pengantin wanita adat
Yogyakarta.
4. Motif Semen
Motif semen berkaitan erat dengan motif meru, karena kata semen
mempunyai arti semi atau tunas, dan dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa
di Gunung Mahameru ataupun pegunungan pada umumnya selalu terdapat
tunas-tunas atau tumbuh-tumbuhan yang selalu bersemi. Dalam kepercayaan
masyarakat Yogyakarta, di Gunung Mahameru terdapat pohon-pohon yang
dianggap sakral. Lebih lanjut salah seorang menceritakan bahwa menurut
orang Yogyakarta pepohonan yang dianggap sakral terdiri dari pohon
sandilata (pohon hidup) yaitu pohon yang dapat menghidupkan orang yang
sudah mati; pohon soma yang tumbuh di puncak Mahameru, yang dapat
memberikan kesaktian; pohon jambuwreksa, yang tumbuh di sebelah barat
laut , yang mempunyai ketinggian sampai menjulang ke angkasa dengan
cabang-cabang yang sangat banyak. Selain itu, di Gunung Mahameru
terdapat juga pepohonan yang menjadi milik dari masing-masing Dewa Tri
Murti. Pohon acwata yang akarnya menjulur ke bawah dianggap sebagai
lambang milik Sang Hyang Wisnu, melambangkan sinar matahari sebagai
pohon yang kekal abadi. Pohon plasa dianggap milik Sang Hyang Brahma,
sedangkan pohon milik Sang Hyang Siwa dilambangkan dengan pohon
nyagroda.
Oleh karena pohon-pohon suci yang terdapat di Gunung Mahameru
dipercaya orang Yogyakarta sebagai salah satu bagian dari sumber
kehidupan manusia di dunia, maka diwujudkan dalam bentuk motif batik. Di
balik bentuk itulah terkandung harapan agar si pemakai selalu dapat
berhubungan dengan Sang Maha Pencipta.
Selain jenis motif-motif sebagaimana yang telah dikemukakan diatas,
yaitu motif-motif yang biasanya terdapat pada kain batik ataupun yang
merupakan bagian dari berbagai motif pada sebuah kain batik, ada
beberapa motif yang tidak merupakan bagaian dari sebuah kain batik.
Motif jenis ini berupa kain tersendiri, yang biasanya motifnya
berdasarkan atau berbentuk dari dua macam warna. Adapun jenis motif
semacam ini antara lain adalah sebagai berikut
1. Motif Bango-tulak
Motif ini merupakan kombinasi dari dua warna hitam dan putih, di mana
hitam di sebelah luar, memberi batas pada warna putih yang ada di
sebelah dalam. Motif ini dianggap sebagai motif tertua. Menurut
informan; nama Bango-tulak diambil dari nama seekor burung yang
mempunyai warna hitam dan putih yaitu tulak. Menurut orang-orang
Yogyakarta burung ini dianggap sebagai hal yang melambangkan umur
panjang. Warna hitam diartikan sebagai lambang kekal (Jawa: langgeng),
sedang warna putih sebagai lambang hidup (sinar kehidupan), dengan
demikian hitam-putih melambangkan hidup kekal. Menurut orang Yogyakarta,
hidup yang kekal itu hanya satu yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi hitam
dan putih disini mengandung maksud menyerahkan atau mengharapkan
hidupnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam pandangan hidup orang
Yogyakarta, hal ini disebut dengan istilah Jumbuhing Kawula Gusti
(penyatuan hamba dan Tuhan).
Pada perkembangan selanjutnya nama bango-tulak menjadi bangun-tulak.
Kata bangun mempunyai arti bangun tidur dan membangun, memperbaiki atau
mempengaruhi. Sedangkan kata tulak, berarti sarat untuk menyingkirkan
penyakit atau bahaya. Bangun-tulak berarti membangun atau membuat sarat
untuk menyingkirkan bahaya dan penyakit agar manusia dapat selamat dalam
hidupnya. Motif ini sampai sekarang masih sering dipergunakan baik
sebagai pakaian sehari-hari, biasanya dipakai oleh para pegawai Kraton,
juga dipergunakan sebagai perlengkapan upacara-upacara sesuai dengan
kepercayaan yang ada. Misalnya dalam upacara perkawinan, mendirikan
rumah, terutama apabila rumah tersebut mempergunakan tiang-tiang kayu,
maka kain ini dipergunakan sebagai penutup ujung tiang atas sebagai
penyangga blandar.
2. Motif Sindur
Motif sindur merupakan motif kain yang memiliki kombinasi warna merah
dan putih. Warna merah terdapat pada bagian tengah, dan putih pada
bagian pinggir yang membentuk gelombang. Motif sindur sering
dipergunakan pada waktu orang melaksanakan upacara pernikahan sebagai
tanda bahwa ia adalah tuan rumah yang mempunyai hajat. Kain ini dipakai
oleh orang tua si pengantin dengan cara diikatkan pada pinggang.
Berdasarkan keterangan dari beberapa informan, warna merah dan putih
melambangkan permulaan (asal mula) dari hidup atau purwaning dumadi.
Menurut informan lebih lanjut, bahwa hal itu dikarenakan dari makna
warna-warna itu sendiri, yaitu putih mengandung arti hidup (bapa) sedang
merah melambangkan arti suci (biyung). Mengenai warna merah yang
melambangkan kesucian ini, para informan menjelaskan bahwa hal tersebut
dapat diketahui dari cerita Ramayana, di mana ia mengkisahkan ketika
Sinta pulang dari Alengka ia tidak dipercaya kesuciannya oleh Rama, hal
ini karena ia telah lama berpisah dengan Rama, dan dekat dengan
Dasamuka. Dari ketidakpercayaan Rama ini, kemudian Sinta menunjukkan
kesuciannya kepada Rama dengan cara membakar diri, akan tetapi ternyata
ia tidak mati. Hal tersebut adalah suatu bukti bahwa Sinta masih suci.
Dari uraian inilah, kemudian warna merah sebagai perwujudan dari api
dilambangkan sebagai kesucian atau sebagai lambang Ibu (Jawa: biyung).
Selanjutnya dari informan dijelaskan bahwa, dalam upacara pernikahan
kedua warna tersebut, yaitu merah dan putih diartikan sebagai permulaan
dari segala kejadian hidup. Dengan demikian dalam upacara pernikahan,
pemakaian sindur dimaksudkan mempertemukan laki-laki dan perempuan
sebagai cikal bakal dari kelahiran hidup di dunia.
3. Motif Gadhung Mlathi
Motif Gadhung mlathi merupakan kombinasi dari warna hijau dan putih,
warna putih terletak di tengah dan hijau di bagian pinggir. Motif ini
sering pula dipergunakan oleh pengantin pria maupun pengantin wanita.
Namun sekarang motif ini jarang dipergunakan lagi pada kain (jarik),
melainkan hanya kemben bagi wanita dan destar (iket) yaitu ikat kepala
bagi pria.
Kata gadhung, menurut seorang informan adalah mempunyai arti hijau
(warna hijau) yang melambangkan kemakmuran, ayom-ayem, yaitu tenteram
atau damai. Maksud dari arti makmur disini tidak hanya kaya harta benda
saja tetapi juga kaya jiwanya dan memiliki banyak pengetahuan, karena
mereka yakin bahwa apabila orang memiliki banyak pengetahuan lahir batin
dapat memberi ketenteraman dan kedamaian hidup. Mlathi adalah bunga
melati yang berwarna putih dan berbau harum. Bau harum dari bunga itu
sendiri dianggap orang mengandung kesusilaan atau rasa susila, sehingga
sejak dahulu sampai sekarang bunga melati mempunyai kedudukan yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itu
para pemakai motif ini berharap agar mereka dapat hidup makmur baik
lahir maupun batin.
Bentuk Perlengkapan Batik Tradisional Dalam Pernikahan Adat Yogyakarta
Di dalam pernikahan adat Yogyakarta, mempelai pria dan wanita yang
melakukan pernikahan disebut temanten atau pengantin. Bagi orang tua
kedua belah pihak yang sedang menyelenggarakan upacara ini disebut
sedang punya hajat mantu(menantu), dan pengantin tersebut oleh kedua
orang tua masing-masing pihak disebut sebagai mantune (menantunya).
Menurut pikiran orang-orang Jawa khususnya Yogyakarta, mempunyai
hajat (kerja) mantu berarti mempunyai kerja menambah anggota keluarga
(Jawa: duwe gawe mantu) yang merupakan pekerjaan yang tidak ringan dan
cukup banyak membutuhkan tenaga, pikiran dan harta. Kecuali itu,
orang-orang Jawa khususnya Yogyakarta beranggapan bahwa menambah anggota
keluarga tidak boleh secara sembarangan. Oleh sebab itu dalam rangka
menambah anggota keluarga tersebut si calon menantu harus betul-betul
diselidiki agar tidak mengecewakan, sehingga bobot (kedudukan), bibit
(keturunan), bebet (silsilah) serta hal-hal lain yang dianggap baik dari
calon menantunya benar-benar mendapat perhatian. Namun demikian,
sekarang ini yang lebih dipentingkan terutama adalah mengenai diri si
calon menantu itu sendiri, apakah ia orang baik-baik, keturunan orang
yang jelas dan baik, dan apakah ia sudah bekerja bagi calon pengantin
prianya.
Sebelum acara lamaran ada suatu tahap yang disebut nontoni,nontoni
adalah upacara untuk melihat calon pasangan yang akan dikawininya.
Dimasa lalu orang yang akan nikah belum tentu kenal terhadap orang yang
akan dinikahinya, bahkan terkadang belum pernah melihatnya, meskipun ada
kemungkinan juga mereka sudah tahu dan mengenal atau pernah melihatnya.
Agar ada gambaran siapa jodohnya nanti maka diadakan tata cara
nontoni. Biasanya tata cara ini diprakarsai pihak pria. Setelah orang
tua si perjaka yang akan diperjodohkan telah mengirimkan penyelidikannya
tentang keadaan si gadis yang akan diambil menantu. Penyelidikan itu
dinamakan dom sumuruping banyu atau penyelidikan secara rahasia.
Setelah hasil nontoni ini memuaskan, dan siperjaka sanggup menerima
pilihan orang tuanya, maka diadakan musyawarah diantara orang tua /
pinisepuh si perjaka untuk menentukan tata cara lamaran. Jika kedua
belah pihak telah saling menyetujui, maka mulailah pihak orang tua pria
mengajukan lamaran kepada calon besannya. Kemudian sesudah itu mereka
mengadakan perundingan tentang penentuan hari pernikahan. Penetapan
tanggal, bulan dan tahun, biasanya mereka hitung dengan melihat
pedoman-pedoman pada buku primbon yang ada ataupun bertanya kepada orang
yang ahli dalam hitungan Jawa. Disamping itu orang Jawa khususnya
Yogyakarta juga mempunyai syarat-syarat yang tidak boleh dilanggar,
misalnya hari pasaran, dari hari pernikahan ini tidak boleh sama dengan
hari pasaran meninggalnya orang tua, nenek ataupun salah seorang dari
keluarga si calon pengantin. Setelah ada kesepakatan mengenai hari,
tanggal, bulan dan tahun maka mulailah diadakan segala macam persiapan
yang berhubungan dengan upacara tersebut sebaik-baiknya, karena yang
akan menyelenggarakan pesta atau upacara pernikahan adat Yogyakarta,
biasanya sedapat mungkin ingin melaksanakan segala sesuatunya secara
lengkap sesuai dengan tata cara dan urutan ataupun hal-hal lain
sebagaimana mestinya. Menurut adat Jawa Gaya Yogyakarta , bentuk
rangkaian tata cara dalam pelaksanaan upacara pernikahan khususnya yang
berhubungan dengan pemakaian batik tradisional sebagai salah satu alat
perlengkapannya menurut A. N Suyanto dalam Sejarah Batik Yogyakarta
(2002) dan menurut informan adalah sebagai berikut:
Tarub
Istilah tarub sebenarnya bukan merupakan hal yang baru bagi kita
khususnya bagi penduduk Yogyakarta. Adapun tarub itu tidak lain adalah
hiasan dari janur kuning (daun kelapa yang masih muda) yang ditempelkan
pada tepi tratag (= tratag tambahan yang terbuat dari anyaman daun
kelapa yang masih hijau (bleketepe)).
Andaikata rumah tempat keluarga yang mempunyai hajat tersebut cukup
memungkinkan untuk menampung para tamu, maka tratag dapat dibuat
sepantasnya saja, karena hal ini sudah menjadi tradisi ataupun syarat
yang tidak boleh terlupakan.
Menurut naluri bagi keluarga yang mempunyai suatu hajat, pemasangan
tarub ini dilaksanakan menurut saat atau perhitungan waktu. Demikian
juga dalam hajat pernikahan pemasangan tratag beserta tarubnya
dilaksanakan menurut saat pula atau bersamaan dengan memandikan calon
pengantin, dalam bahasa Jawa lazim disebut Siraman, yaitu sehari sebelum
pernikahan dilaksanakan.
Pada saat upacara tarub, orang tua pengantin wanita memakai kain
batik motif cakar ayam, bapak memakai sabuk sindur, dan Ibu mengenakan
kemben sindur.
Siraman
Secara harafiah kata siraman artinya adalah cara atau hal mandi, yang
berasal dari kata siram. Upacara ini sering disebut upacara nyirami,
yang artinya memandikan, yaitu memandikan calon pengantin dengan maksud
disucikan. Acara ini dilaksanakan sehari sebelum acara pernikahan, dan
biasanya dilakukan oleh beberapa orang wanita yang sudah tua dan telah
banyak pengalaman hidup, sehingga diharapkan dapat memberikan tuah dan
doa restu kepada para calon pengantin.
Pada waktu disirami pengantin memakai kain batik yang motifnya bebas.
Pada saat upacara pengantin memakai kain mori sebagai sebagai telesan,
setelah selesai siraman mempelai wanita keluar dari ruang mandi memakai
kain dengan motif grompol. Pada saat upacara siraman, ibu dari mempelai
wanita memakai kain batik yang bermotif cakar, yang mengandung makna
agar calon pengantin dapat mencari nafkah atau rejeki dengan baik untuk
mencukupi kebutuhan keluarganya kelak. Setelah upacara siraman selesai,
mempelai wanita keluar dari ruang mandi untuk kemudian dirias. Menjelang
dirias mempelai wanita diberi pakaian dengan menggunakan kain bermotif
truntum, pada saat yang sama tidak diperbolehkan memakai perhiasan
sampai dengan upacara midodareni selesai. Pada saat dirias calon
mempelai wanita duduk di atas tikar yang disebut klasa bangka ialah
tikar daun pandan yang anyamannya kasar, yang di dalamnya kemudian diisi
dengan berbagai dedaunan dan berbagai macam kain batik. Adapun
kain-kain batik tersebut antara lain adalah kain bango tulak, gadhung
mlathi, sindur dan lain-lain, yang kemudian ditutup dengan kain yang
disebut kain mancawarna. Menurut kepercayaan orang Jawa khususnya
Yogyakarta, kain mancawarna ini melambangkan arah mata angin, yaitu
timur dilambangkan dengan warna putih dengan dewanya Maheswara; selatan
dilambangkan dengan warna merah dengan dewanya adalah Sang Hyang Brahma;
barat dengan warna kuning dengan dewanya yaitu Maha Dewa atau Batara
Kala; dan sebelah utara dilambangkan warna hitam dengan dewanya adalah
Batara Wisnu; sedangkan di tengah- tengah sebagai pusat dari empat
penjuru mata angin tersebut adalah Dewa Siwa. Jadi dengan demikian
mempelai yang sedang dirias itu duduk di tengah atau di pusat dan
menjadi pusat perhatian, dengan harapan semoga segala kebaikan memusat
pada mempelai.
Midodareni
Acara ini dilakukan pada malam hari setelah acara siraman. Kata
midodareni berasal dari kata widodari yang artinya bidadari. Menurut
kepercayaan orang Jawa khususnya Yogyakarta, pada malam midodareni para
bidadari turun dari kahyangan atas perintah Batara Guru (Batara Siwa)
untuk merias pengantin wanita agar cantik jelita laksana Dewi Sembadra,
sedang pengantin prianya seperti Arjuna. Oleh sebab itulah baik
pengantin pria maupun wanita dianjurkan untuk berjaga-jaga dan tidak
tidur setidak-tidaknya sampai pukul 12 malam.
Pada malam midodareni, calon pengantin mengenakan kain batik
parang-kusumo, yang dianggap sebagai bunga di tengah-tengah para tamu
atau kerabatnya. Di samping itu juga sering digunakan kain batik parang
gondo-suli. Kata gondo berarti bau, sedang suli adalah bunga, dengan
demikian kedua pasangan pengantin yang mengenakan kain tersebut
diharapkan agar kelak dikemudian hari dapat menjadi orang yang sejahtera
dan selalu sukses.
Akad Nikah
Acara ini merupakan acara puncak dan yang paling dinanti-nanti,
karena akad nikah merupakan inti dari semua rangkaian upacara pernikahan
tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan pada pagi hari sesudah
malam midodareni.
Umumnya akad nikah dilakukan berdasarkan agama atau kepercayaannya
masing-masing. Untuk orang Jawa khususnya Yogyakarta yang beragama
Islam, akad nikah dilakukan dihadapan penghulu, atau naib, yang dapat
dilangsungkan di masjid ataupun rumah kediaman mempelai wanita. Antara
mempelai pria dan wanita, acara ini dilangsungkan pada saat yang sama
hanya saja di ruangan yang berbeda. Pada saat upacara ijab kabul,
pengantin pria duduk diatas tikar (Jawa: klasa bangka) yang diisi dengan
bermacam-macam daun yang kemudian ditutup dengan mori (kain yang
berwarna putih) yang melambangkan sinar positif atau hidup.
Sumber Informasi:
Dunianyamaya.wordpress.com