Makna Batik dalam Pernikahan Adat Yogyakarta (Lanjutan)
Panggih
Setelah acara ijab kabul selesai, segeradilanjutkan dengan upacara yang disebut panggih,
yaitu bertemunya pengantin yang didahului acara saling melempar sirih.
Menurut adat istiadat Yogyakarta , dalam upacara pernikahan baik
pengantin wanita maupun pengantin pria mengenakan kain batik yang
bermotif sama atau kembar baik warna maupun polanya. Biasanya kain batik
yang digunakan adalah kain sidomukti, akan tetapi sebenarnya
masih cukup banyak kain batik lainnya yang dirancang khusus untuk
keperluan para calon pengantin. Selain memilih motif yang indah, pada
umumnya kain batik yang dipergunakan oleh pasangan pengantin adalah kain
batik yang berkualitas paling baik. Kain-kain batik yang dipergunakan
oleh para pengantin ini biasanya mengandung banyak arti yang
masing-masing kain berbeda antara yang satu dan lainnya. Selain kedua
pasangan pengantin, pada kesempatan itu pula para orang tua dari kedua
belah pihak biasanya juga mempergunakan kain batik yang serupa. Adapun
beberapa kain batik yang sering dipergunakan dalam upacara pernikahan
adat Jawa Gaya Yogyakarta adalah kain-kain batik sebagai berikut:
a. Kain batik yang sering dipergunakan oleh para orang tua kedua mempelai:
1. Kain Batik Truntum, kain batik ini di dalamnya terdapat beberapa motif, yaitu motif gurda dan motif truntum itu sendiri. Motif truntum sebenarnya termasuk jenis semen, karena arti truntum itu berarti juga bersemi atau tumbuh. Selain itu ada hubungannya dengan kata tumruntum, yang berarti berturut-turut dan merata. Motif truntum
ini bentuknya terdiri dari segi tiga runcing berjumlah delapan, dan
terdapat bulatan di tengahnya sehingga menyerupai bunga-bunga kecil.
Adapun maksud yang terkandung dari kain batik ini secara keseluruhan
adalah, agar adik-adik si calon pengantin nantinya dapat mengikuti jejak
kakaknya berumah tangga, dan dapat dilakukan dengan selamat sebagaimana
kakaknya terdahulu. Di samping itu, dengan menggunakan kain batik ini
bermakna agar kedua pengantin bisa terus rukun, segera mempunyai
keturunan serta mendapat banyak rejeki, dan selamat dalam berumah
tangga.
2. Kain Batik Cakar Ayam, cakar ayam melambangkan agar setelah berumah tangga
sampai keturunannya nanti dapat mencari nafkah sendiri atau hidup mandiri.
3. Kain Batik Grompol, grompol atau grombol,
dalam Bahasa Jawa berarti berkumpul atau bersatu. Kain batik dengan
motif ini biasa dikenakan pada saat upacara pernikahan oleh orang tua
mempelai, baik calon mempelai pria atau calon mempelai wanita. Motif ini
melambangkan harapan pemakai bahwa akan berkumpul semua sanak saudara
dan tamu-tamu sehingga pesta pernikahan dapat berjalan meriah. Juga
berkumpulnya semua hal yang baik yaitu rejeki, kebahagiaan, kerukunan
hidup, ketenteraman untuk kedua keluarga tersebut. Namun juga dengan
harapan bahwa pasangan keluarga baru itu nanti sejauh kemanapun
perginya, tetap akan dapat mengumpul atau mengingat kepada induknya atau
keluarga besarnya.
4. Kain Batik Truntum, truntum berasal dari kata tum-tum artinya tumbuh kembali, namun ada yang mengatakan truntum berasal dari tumaruntum yang berarti menuntun, atau juga sering dikaitkan dengan tentrem
(bahasa Jawa) yang berarti tenteram. Motif ini diciptakan oleh istri
Raja yang sedang dilupakan karena Raja mempunyai kekasih baru. Untuk
melupakan kepedihan hati, sang Ratu mulai membatik dengan motif bintang
kecil dilangit yang selama ini menemaninya dalam kesepian dengan
disertai doa agar sang Raja kembali kepadanya. Ketelatenan Ratu dalam
membatik dapat menarik perhatian Raja kepada sang Ratu kembali, sehingga
cinta kasih yang hilang dapat tumbuh kembali. Kain ini juga biasa
digunakan orang tua pengantin pada saat pesta pernikahan yang
melambangkan harapan agar orang tua mampu menuntun atau memberi contoh
kepada putra-putrinya dalam memasuki kehidupan berumah tangga dan
mencapai ketenteraman hidup.
b. Kain batik yang sering dipergunakan oleh para pengantin:
1. Kain Batik Sidomukti. Di dalam kain batik sidomukti ini juga terdiri dari beberapa motif, diantaranya yang terpenting dan yang utama adalah motif ukel (bentuknya seperti huruf koma), semakin kecil ukelnya
maka semakin tinggi mutu seninya. Selain itu, kain ini dihias dengan
kotak-kotak yang bergambar kupu-kupu dan semacam kereta pengantin yang
ditandu dengan bahu. Makna yang terkandung dari kain batik sidomukti adalah agar kedua pasangan pengantin tersebut bisa mukti, yaitu kebahagiaan yang sempurna yakni kebahagiaan lahir batin.
2. Kain Batik Wahyu Tumurun, kain batik ini sering pula dipilih sebagai busana pada upacara pernikahan adat Jawa Gaya Yogyakarta. Wahyu temurun merupakan kain batik yang di dalamnya terdiri dari motif utamanya adalah termasuk motif semen. Dari arti katanya, wahyu memiliki pengertian sebagai kebahagiaan anugrah Tuhan (Jawa: pulung nugrahaning Allah),
yaitu anugrah yang dapat berupa pangkat, derajat, kedudukan,
keuntungan, dan lain-lain kemuliaan yang menjadi bagian dari sumber
kebahagiaan umat manusia. Demikianlah wahyu temurun sebagai
kain batik yang dipergunakan dalam pernikahan, memberikan makna dan
harapan agar si pemakai mendapatkan anugerah kebahagiaan dari Sang Maha
Pencipta di kelak kemudian hari.
3. Kain Batik Sido Asih, Sido berarti jadi, asih berarti sayang, ragam hias ini mempunyai makna agar hidup berumah tangga selalu penuh kasih sayang.
4. Kain Sindur, kain sindur juga diperuntukkan pula bagi kedua pengantin saat upacara panggih,
dengan cara dikalungkan kepada keduanya secara bersama-sama, yang
mengandung maksud bahwa pertemuan ini dianggap sebagai lambang dari
permulaan akan adanya kelahiran atau suatu kehidupan baru di dunia.
Dengan berakhirnya acara panggih, maka rangkaian upacara pokok pernikahan adat inipun dianggap selesai.
Sebagaimana kita ketahui upacara pernikahan merupakan salah satu perwujudan dari upacara ritual
yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang untuk memohon
perlindungan kepada kekuatan-kekuatan yang berada di luar diri manusia,
maka batik tradisional sebagai salah satu alat perlengkapan pada upacara
pernikahan tersebut menunjukkan bahwa di dalamnya sebenarnya mengandung
arti yang sangat penting bagi para pemakainya. Pada dasarnya,
batik-batik tradisional itu dimaksudkan untuk menggambarkan adanya
daya-daya kekuatan yang menguasai alam semesta, yang tercermin dalam
motif-motif batik tradisional tersebut. Kecuali itu, motif-motif batik
ini sebenarnya juga dimaksudkan untuk memberikan jaminan maupun
harapan-harapan bagi kehidupan manusia, misalnya ia berharap agar
mendapat banyak rejeki, panjang usia, dikaruniai keturunan dan lain-lain
yang sifatnya membahagiakan serta berharap pula agar terhindar dari
malapetaka dan kemalangan-kemalangan yang di derita selama hidup di
dunia. Dengan kata lain bahwa, sebenarnya batik-batik tradisional
merupakan lambing sebagai alat penghubung antara manusia dengan alam
supernaturalnya.
Namun
demikian, arti mengenai peranan batik tradisional dalam pernikahan adat
Yogyakarta, tentunya tidak terlepas dari pemahaman ataupun penghayatan
seseorang terhadap batik-batik itu sendiri, maupun terhadap makna
upacara pernikahan tersebut pada umumnya. Sedangkan pemahaman ataupun
penghayatan dari seseorang terhadap sesuatu hal, biasanya sangat
dipengaruhi oleh persepsi dari orang yang bersangkutan mengenai hal-hal
yang dilihatnya tadi.
Seperti
dapat kita ketahui, akibat dari arus informasi yang demikian pesat
seiring dengan ditemukannya alat-alat komunikasi dan teknologi-teknologi
modern lainnya, mengakibatkan di dalam suatu masyarakat otomatis
terjadi pula perubahan yang sangat cepat. Hal ini sangat mempengaruhi sistem sosial, termasuk sikap dan pola tingkah laku di dalam kehidupan masyarakat.
Pengaruh
pola berpikir barat yang lebih mengutamakan rasionalisasi pada setiap
aspek kehidupan, dimana lembaga-lembaga pendidikan merupakan pusat-pusat
terbentuknya pola pikir rasional, mau tidak mau hal demikian ikut
menunjang dan bahkan mempercepat pembentukan pola berpikir dan persepsi
seseorang terhadap sesuatu hal sesuai dengan pola berpikir yang sedang
dikembangkan. Hal-hal seperti inilah kiranya yang sedang terjadi didalam
kehidupan masyarakat kita, dan khususnya dalam masyarakat Yogyakarta.
Pergeseran
pola berpikir yang sedang berkembang saat ini, membawa akibat pada
pembentukan persepsi seseorang akan sesuatu hal, terlebih lagi terhadap
pemikiran-pemikiran yang bersifat magis religius. Demikian halnya dengan
persepsi masyarakat, khususnya Yogyakarta terhadap batik tradisional yang
sebetulnya memiliki nilai-nilai spiritual yang tinggi. Akan tetapi
sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat yang
begitu cepat, diantaranya adalah persepsi masyarakat, maka nampak bahwa
pada saat-saat sekarang ini, peranan batik tradisional sebagai unsur
perlengkapan upacara pernikahan, penghayatan makna keagungannya semakin
hari semakin berkurang. Hal ini dapat diketahui dari penjelasan beberapa
informan yang mengatakan bahwa orang tidak lagi mengetahui makna apa
sebenarnya yang terkandung di dalam kain-kain batik yang mereka kenakan.
Kemudian dikatakan lebih lanjut, bahwa mereka hanya mengikuti saja apa
yang diperintahkan oleh orang tuanya. Disamping itu kedua orang tua dari
pengantin-pengantin generasi mudapun, sebenarnya juga sudah amat
sedikit pengetahuannya mengenai seluk beluk batik tradisional yang
berhubungan dengan nilai-nilai magis tadi, sehingga ia hanya
mengemukakan secara garis besarnya saja, dan lebih mendasarkan kepada
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh nenek-nenek moyang mereka secara
turun temurun dalam lingkungan keluarga mereka.
Sejalan
dengan bergesernya waktu, maka orang-orang yang masih menganut pola
berpikir berdasarkan pemikiran tradisional semakin hari semakin lanjut
usia, sehingga jika mereka meninggal dunia, pemikiran-pemikiran mereka
lambat laun akan terkikis akibat generasi berikutnya kurang mempunyai
perhatian terhadap pola-pola pemikiran tersebut. Sistem pewarisan yang
kurang berjalan lancar, ditambah lagi dengan perkembangan jaman yang
mengakibatkan makna batik tradisional yang mengandung nilai-nilai
spiritual yang luhurpun semakin tertinggal di belakang, dan bahkan
lambat laun ditinggalkan. Pemakaian batik tradisional dalam upacara
pernikahan hanyalah sebagai kebiasaan semata. Lebih daripada itu,
kecenderungan saat ini menunjukkan bahwa, perlengkapan tersebut
dikenakan hanya untuk memperlihatkan kalau mereka mampu melaksanakan
suatu upacara pernikahan secara utuh dan besar-besaran, sehingga dalam
hal ini hanya untuk menampakkan status dan kedudukan mereka di mata
masyarakat luas.
Penyebab
memudarnya nilai-nilai magis yang terkandung di dalam batik
tradisional, selain disebabkan oleh hal-hal diatas, adalah juga akibat
dari produksi batik yang tidak lagi dikerjakan sebagaimana mula-mula
batik-batik tersebut dibuat. Pada walnya, pembuatan batik tradisional
dilakukan dengan penuh penghayatan oleh seseorang dengan cara melukiskan
pada kain, yaitu yang kita kenal sebagai batik tulis. Namun, dengan
ditemukannya alat-alat produksi modern, maka pembuatan kain-kain
batikpun dilakukan secara besar-besaran sama halnya dengan
produksi-produksi tekstil lainnya. Hal tersebut mengakibatkan harganya
relatif murah, tahan lama, dan lebih halus. Akibatnya, dengan sendirinya
orang lebih suka memilih harga yang murah dengan motif yang sama,
walaupun cara pembuatannya tidak lagi dilakukan dengan penuh penghayatan
sesuai dengan makna yang tersirat di dalam batik-batik tersebut. Akibat
lain dari murah dan banyaknya kain batik yang beredar di masyarakat,
memyebabkan kain-kain batik yang memiliki nilai magis religius tadi
pemakaiannya cenderung digunakan tidak pada tempatnya. Misalnya; banyak
kain-kain batik yang bermotif tradisional dipergunakan sebagai taplak
meja, sprei, pakaian dan sebagainya yang sifatnya untuk keperluan
sehari-hari. Dengan demikian jelaslah bahwa, faktor-faktor ini turut
mempercepat lunturnya nilai-nilai magis pada motif batik tradisional
yang merupakan peninggalan nenek moyang mereka yang teramat agung nilai
spiritualnya, yang sebenarnya hanya dimaksudkan untuk keperluan
upacara-upacara tertentu saja. Demikian pula yang terjadi pada
pernikahan adat Yogyakarta, penggunaan batik tradisional ini cenderung
hanya dilaksanakan atau dilakukan secara praktis tanpa penghayatan
batiniah lagi, sehingga kurang lagi memliki arti yang sifatnya sakral.
KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian yang telah dikemukakan, dapat kita ketahui bahwa di balik
batik-batik yang bermotif tradisional terdapat cerita-cerita suci
mengenai alam semesta (mitologi) sesuai dengan kepercayaan yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat Yogyakarta. Di dalam uraian
tersebut antara lain disebutkan bahwa, orang Jawa percaya akan adanya
kekuatan-kekuatan baik maupun jahat yang mendiami dunia gaib yang sangat
mempengaruhi kehidupan mereka selama di dunia. Oleh karena itu,
pandangan hidup orang Yogyakarta menekankan pada keselarasan dan
keseimbangan dengan alam semesta. Perwujudan dari pandangan hidup mereka
ini, tercermin dalam bentuk-bentuk upacara tradisional.
Upacara
pernikahan yang merupakan salah satu bentuk dari upacara tradisional
merupakan upacara saat peralihan hidup dari masa remaja ke tahap hidup
berumah tangga, merupakan saat-saat yang penting bagi kehidupan
seseorang. Menurut orang Yogyakarta, peralihan hidup dari satu tingkat
ke tingkat yang lain ini dianggap sebagai saat-saat yang gawat dan penuh
bahaya. Ada sesuatu diluar kemampuan manusia yang dapat menyebabkan
bencana pada saat peralihan itu. Untuk mencegah terjadinya bencana
tersebut, maka perlu diadakan upacara tradisional, dimana upacara itu
mengandung unsur-unsur yang bermaksud menolak bahaya gaib yang mengancam
individu maupun lingkungannya.
Bagi
masyarakat Yogyakarta, batik tradisional dianggap sebagai benda yang
dapat mengungkapkan atau memberi pengetahuan atau pengertian tentang
adanya daya-daya kekuatan yang menguasai alam semesta. Lebih daripada
itu, apa yang tercermin baik pada motif, warna maupun nama-namanya
nampak memberikan harapan-harapan ataupun jaminan bagi manusia berupa
suatu kehidupan yang lebih baik selama di dunia. Oleh karena itu dalam
rangka upacara pernikahan adat Yogyakarta, batik tradisional sebenarnya
memiliki arti yang sangat penting. Hal ini karena batik-batik tersebut
dianggap sebagai suatu perlengkapan khusus, yang dimaksudkan sebagai
lambang yang dapat menghubungkan antara manusia dengan alam
supranaturalnya, sehingga di saat upacara peralihan tersebut maupun pada
hari-hari selanjutnya diharapkan dapat selamat terbebas dari kemalangan
serta bahagia.
Namun
demikian, arti dari pemakaian kain-kain batik tradisional sebagai alat
perlengkapan upacara pernikahan adat Yogyakarta, bagaimanapun juga
sangat tergantung dari persepsi masing-masing pemakainya mengenai
pandangan mereka terhadap batik-batik itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar